Ketika berbicara pergerakan nasional di Indonesia, biasanya orang merujuk pada gerakan-gerakan kemahasiswaan dan luput membicarakan peran gerakan kepelajaran. Padahal, dalam sejarah pergerakan nasional, pelajar juga mempunyai andil cukup strategis dalam proses pembentukan pergerakan nasional.
Pelajar berandil pada era prakemerdekaan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, orde reformasi, bahkan hingga era sekarang ini, yaitu era pascareformasi. Kalau kita kembali ke belakang, gerakan pelajar di era prakemerdekaan belum terbentuk secara organik dan masih tergabung dalam wadah gerakan kemahasiswaan atau kepemudaan.
Di era kemerdekaan dan orde lama, mulailah muncul gerakan-gerakan kepelajaran yang bersifat mandiri dan tidak tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan atau pun kepemudaan. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 1947, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) tahun 1954, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama pada 1955 dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1961 (berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah pada 1992).
Gerakan pelajar langsung atau tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi kelompok sosial pelajar di Indonesia, khususnya pelajar Islam. Gerakan dengan ideologi, tradisi, corak, dan keunikannya masing-masing berkontribusi dalam internalisasi nilai-nilai Islam dan keindonesiaan.
Yang lebih strategis lagi, dari organisasi-organisasi kepelajaran ini sudah terbukti banyak melahirkan tokoh-tokoh penting. Gerakan pelajar tentu tidak hidup dalam ruang sejarah yang hampa karena situasi sosial, ekonomi, politik, agama, pendidikan, budaya, dan bidang lainnya pun berubah.
Belum lagi dengan berbagai persoalan yang menghimpit bangsa Indonesia. Konstelasi problematika yang sedemikian kompleks ini tentu berimplikasi pada positioning yang rumit bagi gerakan pelajar.
Meskipun demikian, gerakan pelajar harus tetap berpartisipasi aktif mengambil peran strategis pada era usai reformasi yang mengalami turbulensi. Gerakan pelajar harus mampu menawarkan gagasan dan aksi-aksi baru yang segar, kritis, visioner, dan transformatif.
Lalu, gagasan dan aksi gerakan yang dimaksud seperti apa? Ini yang harus kita diskusikan bersama.
Gerakan pelajar terlebih dahulu harus memahami bahwa keberadaan mereka karena untuk memperjuangkan kepentingan basis massanya, yaitu pelajar. Untuk mampu menemukannya, gerakan pelajar harus berangkat dari realitas yang dihadapi oleh pelajar.
Mereka tidak bisa berangkat dari daftar keinginan subjektif saja, tapi harus terlebih dahulu membaca secara objektif di lapangan. Yang tepat dalam konteks ini adalah mendialektikan antara subjektivitas dan objektivitas. Ini untuk meminimalisasi eksploitasi oleh elite gerakan pelajar terhadap basis massanya, yaitu menjadikan elite sebagai subjek dan massa sebagai objek.
Gerakan pelajar harus terlibat dan bergumul dengan problematika pelajar. Mereka secara intensif hadir di tengah-tengah pelajar untuk berdiskusi, berdialog, dan mendengarkan aspirasi. Jadi, mereka tak hanya mengajak berpikir kritis tentang persoalan di lingkup sekolah saja, tapi juga tentang kondisi sosial, politik, agama, dan budaya dalam perspektif anak-anak muda.
Dengan media itulah kita akan dapat memahami dan menghayati kegelisahan, harapan, dan suara- suara generasi masa depan Indonesia.
Pelajar menghadapi masalah lemahnya budaya membaca, korban kebijakan pendidikan, objek politik, sasaran budaya konsumerisme dan hedonisme, juga korban kekerasan media. Pelajar sangat rentan menjadi korban dari proses sosial politik.
Program strategis
Ada beberapa program strategis. Pertama, gerakan iqra (membaca). Ini penting karena minat baca mereka sangat rendah. Laporan terbaru dari Programmer for International Student Assessment (PISA) pada 2003 menyatakan dari 40 negara, Indonesia berada pada tingkat terbawah dalam kemampuan membaca.
Kampanye gerakan ini amat penting sebagai jihad peradaban. Kegiatan-kegiatan yang merangsangnya harus terus diciptakan. Gerakan pelajar juga harus mampu membangun aliansi dengan berbagai elemen masyarakat agar masalah tersebut tuntas.
Kedua, melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan pelajar sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kelompok sosial lainnya. Pelajar mempunyai hak pendidikan (akses pendidikan, perlakuan sama, dilindungi dari kekerasan pendidikan, dan lainnya) dan hak politik (bersuara, berserikat, memilih, dan dipilih).
Pendidikan politik masih relevan dilakukan karena banyak partai politik (parpol) belum serius mendidik mereka. Parpol justru melakukan pembodohan politik dan masih menganggap pelajar sebagai objek.
Pelajar hanya dijadikan penggembira ketika kampanye-kampanye politik. Aspirasi kaum muda (pelajar khususnya) belum secara serius diperjuangkan.
Ketiga, membangun gerakan advokasi pendidikan. Pendidikan adalah dunia yang paling dekat dengan pelajar. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam pendidikan sangat berkaitan dengan dunia pelajar.
Akibat ekonomi neoliberalisme, terjadi pengurangan subsidi untuk hajat publik. Salah satunya pengurangan subsidi pendidikan.
Pendidikan pun semakin mahal. Banyak pelajar miskin putus sekolah. Semakin mahalnya pendidikan mengakibatkan banyak rakyat miskin dan tidak dapat mengakses pendidikan. Dalam konteks inilah gerakan pelajar harus berada pada garda terdepan menyuarakan education for all dan realisasi 20 persen APBN untuk pendidikan.
Kasus kekerasan pendidikan juga semakin merebak. Kasus kekerasan beraneka ragam dan pelakunya berbeda-beda. Upaya-upaya advokatif (penyadaran, pendampingan, dan pembelaan) harus dilakukan untuk membabat habis akar-akar kekerasan itu. Gerakan pelajar harus melawan kekerasan tanpa kekerasan.
Keempat, melakukan gerakan budaya tanding (counter culture) terhadap budaya populer yang boros dan hedonis di media, khususnya TV. Banyak tayangan TV tidak mendidik dan mencerahkan, tapi mengajarkan gaya hidup glamor, kekerasan, dan mistik yang menumpulkan akal sehat.
Pelan tapi pasti, sinetron-sinetron yang ada di TV memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak muda, khususnya para pelajar. Imitasi pun banyak dilakukan, mulai dari cara berpakaian, makan, minum, berbicara hingga bergaul.
Budaya baca belum tumbuh dan mengakar dalam masyarakat kita, tiba-tiba diserbu budaya visual. Masyarakat pun mengalami lompatan atau bahkan shock culture yang cukup dahsyat.
Melihat hal tersebut, gerakan pelajar harus mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan. Gerakan-gerakan populis untuk menyadarkan masyarakat tentang tontonan yang tidak mendidik harus dilakukan. Misalnya, dengan gerakan satu hari tanpa TV, kampanye tontonan yang sehat, memboikot sinetron-sinetron cabul, porno, horor, dan mistik yang dapat menumpulkan daya pikir.
Moh. Mudzakkir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar